Selasa, 28 Oktober 2014

Resensi Novel Rindu Karya Tere Liye

Resensi Novel Rindu
Karya  : Tere Liye
Soft cover 544 halaman

 Menjawab pertanyaan dalam sebuah perjalanan


“Apalah arti memiliki,
Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan,
Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan,
Dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta,
ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?”
            Untaian kata-kata itu saya temukan di cover belakang novel Rindu karya Tere Liye. Kata-kata yang dalam sekejap mampu membuat saya berfikir dan menemukan makna yang begitu dalam. Kata-kata itu begitu indah sehingga tanpa pikir panjang saya membelinya dan tak sabar ingin segera membacanya.
            Ketika membaca lembar-lembar pertama saya agak bingung tentang apa dan siapakah sebenarnya kisah ini? karena di bagian awal, cerita disajikan secara acak berdasarkan tokoh sentral di novel tersebut membuat pembaca berfikir apa hubungan cerita di antara tokoh-tokoh tersebut. Cerita mengalir begitu alami dan indah, satu persatu tokoh muncul dan seperti biasa Tere Liye sebagai penulis mampu mengaduk-aduk emosi pembaca dan berhasil membuat pembaca penasaran sehingga membuat saya terus melahap lembar demi lembar berikutnya hingga habis.
            Di bagian awal novel, pembaca akan disuguhkan narasi tentang kesibukan kegiatan di pelabuhan, menggambarkan proses naiknya penumpang ke kapal, hilir mudik kuli angkut dan sebagainya. Suasana tersebut dideskripsikan begitu detail oleh penulis sehingga pembaca dapat merasa benar-benar hadir di tempat tersebut. Penulispun menyisipkan beberapa cuplikan sejarah di negara kita. Novel ini menjadi lebih lengkap dengan adanya cuplikan sejarah tersebut.
            Hal yang menarik dari novel ini adalah penulis memilih latar waktu tahun 1930an, waktu dimana Indonesia masih dijajah oleh Belanda, jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketika itu teknologi masih sangat sederhana dan tidak canggih sekarang. Meskipun demikian penulis mampu menceritakan keadaan di masa itu dengan sangat baik, menceritakan suasana ketika itu dengan sangat detail seakan-akan penulis memang hidup di jaman tersebut.

           Hal menarik lainnya yaitu latar tempat di novel ini. Novel ini memakai latar sebuah kapal uap yang bernama “Blitar Holland”. Kapal yang akan melakukan sebuah perjalanan panjang nan suci. Kapal tangguh di jamannya untuk menuju ke tanah suci. Sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan perasaan kerinduan melihat baitullah dan beribadah di sana. Sebuah perjalanan yang ketika itu ditempuh bukan hanya dalam waktu sehari dua hari atau seminggu dua minggu tapi perjalanan yang akan menempuh waktu hingga satu bulan lamanya. Di perjalanan inilah kisah akan dimulai.
            Dalam perjalanan ini ada beberapa tokoh yang diceritakan, mereka adalah Ambo Uleng, Daeng Andipati, Bonda Upe, Mbah kakung dan Guruta. Masing-masing dari mereka memiliki pertanyaan yang ingin ditanyakan. Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang adalah pertanyaan yang sederhana namun sulit untuk mereka temukan jawabannya sendiri. Pertanyaan itu adalah tentang masa lalu yang memilukan, tentang kebencian kepada seseorang, tentang kehilangan kekasih hati, tentang cinta sejati, dan tentang kemunafikan.
         Dalam perjalannya pertanyaan-pertanyaan tersebut satu persatu terkuak dan mendapatkan jawabannya. Jawaban yang sederhana tapi mengena, jawaban yang sejatinya adalah hasil dari sebuah pemahaman yang baik dan indah. Jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut selalu berhasil dijawab dengan baik oleh salah satu tokoh dalam novel tersebut yaitu Ahmad Karaeng yang biasa dipanggil Guruta yang dalam bahasa makassar berarti guruku.
         Guruta diceritakan sebagai seorang ulama yang sangat masyhur dan dihormati oleh masyarakat di makassar. Beliau diceritakan sebagai sosok yang bijak dan ‘alim dalam ilmu agama selain itu beliau juga masih keturunan dari Raja Gowa pertama yang memeluk islam, guruta juga masih kerabat dari syeikh Yusuf seorang ulama besar yang dibuang Belanda. Dalam kisah ini dan dalam perjalanan ini Guruta lah yang berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan dari tokoh lainnya. Guruta lah yang memberikan jawaban dan nasehat yang bijak sehingga akhirnya keadaan mereka menjadi lebih baik. Tapi siapa sangka Guruta yang bijak dan mampu menjawab pertanyaan orang lain ternyata juga memiliki pertanyaan yang ia tak bisa jawab sendiri. Ya, guruta tak bisa menjawab pertanyaan yang mengendap di dalam hatinya. Kelak, di akhir cerita pertanyaan Guruta akan terjawab bukan lagi dengan ucapan tapi dengan perbuatan.
        Salah satu nasehat Guruta yang membekas adalah tentang memaafkan. Guruta berkata,”Ketahuilah nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang , itu bukan persoalan apakah orang itu salah dan kita benar. Apakah memang orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.” Kedamaian di dalam hati, ya kita butuh kedamaian itu lantas mengapa kita tetap membenci?merusak kedamaian di hati kita sendiri.
       Di novel ini Banyak nasehat dari Guruta yang secara tidak langsung telah menasehati kita, kata-katanya bijak dan membuat kita mengerti hakekat hidup, nasehatnya indah dan tidak seperti sedang menggurui. Guruta ini mengingatkan saya pada tokoh Pak Tua di novel Tere Liye yang lain yaitu Kau,Aku dan sepucuk angpau merah.Mereka sama-sama digambarkan sebagai sosok orang tua yang bijak, berilmu pengetahuan dan banyak pengalaman. Menurut saya sosok Guruta adalah nyawa dalam novel ini karena tokoh Guruta lah nilai-nilai kebaikan dari novel ini dapat tersampaikan.
            Salah satu tokoh lain yang telah mencuri perhatian adalah Ambo Uleng. Dia sosok yang begitu pendiam dan tak banyak bicara. Dia diceritakan sebagai tokoh yang sedang memiliki masalah yang hanya dikeetahui olehnya sendiri, memendam masalahnya dan hanya bercerita dengan jendela kabin, menatap lautan lepas dalam kesendirian. Ambo Uleng sebelumnya adalah seoang pelaut namun kemudian melamar pekerjaan di kapal uap Blitar Holland. Dia melamar pekerjaan di kapal tersebut bukan untuk mendapatkan uang tapi ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari tempat ia lahir dan dibesarkan. Di kapal tersebut kelak diceritakan ia hendak merusak dirinya sendiri, berhari-hari tak tidur hanya karena memikirkan hal yang hanya ia pendam sendiri. Sebuah pertanyaan yang tak kuasa ia jawab. Sebuah pertanyaan tentang perasaan yang tak bisa ia hilangkan. Kenapa gerangan Ambo Uleng?Ada masalah apa dia? Pertanyaan itulah yang membuat saya terus menyelesaikan membaca novel ini.
            Tokoh berikutnya yaitu Daeng Andipati dan keluarganya yang merupakan saudagar kaya dari Makasar yang terlihat teramat bahagia dengan kehidupannya. Dia punya segalanya, harta, kehormatan, istri yang cantik dan anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Anna dan Elsa sebagai anak andipati membuat novel ini lebih hidup karena tingkah polos dan lucunya anak-anak. Dengan apa yang ia miliki saat itu apakah ia benar-benar bahagia? Atau ada hal yang ia sembunyikan?. Apapun itu yang pasti Daeng Andipati juga punya pertanyaan yang sungguh sangat ia tanyakan. Pertanyaan yang berasal dari sebuah perasaan yang sangat mengganggu hidupnya. Pertanyaan itu sudah lama ia cari jawabnya namun di kapal inilah akhirnya ia menemukan jawabannya.
             Dua pertanyaan lainnya adalah dari Mbah kakung yang merupakan penumpang dari Surabaya dan Bonda Upe yang menjadi guru mengaji untuk anak-anak di kapal. Pertanyaan mereka merupakan pertanyaan penting. Pertanyaan yang barangkali sering pula kita tanyakan. Bukan pada manusia tetapi kepada Tuhan. Mengapa begini? Mengapa begitu? Pada akhirnya pertanyaan mereka terjawab dengan sangat manis dan membuat kita mengerti banyak hal dalam hidup.
            Membaca novel Rindu ini secara tidak langsung akan membuat kita merenung dan berfikir tentang hidup juga berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, bagaimana tidak? Di dalamnya mengajarkan kita nilai-nilai kebaikan seperti bagaimana kita menyikapi takdir,masa lalu, cinta sejati dan lain sebagainya. Novel ini sarat pesan moral dan sarat makna, banyak pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis dari novel ini, salah satunya adalah pemahaman bahwa apa yang terjadi di hidup ini sudah digariskan oleh Tuhan dan kita hanya wajib berusaha dan berdoa juga berharap dan kemudian kita benar-benar menyerahkan hasilnya kepada Tuhan dan menerima apapun keputusanNya.
            Novel ini juga mengajarkan pengorbanan, nilai-nilai hidup yang harus kita pegang dan tentu saja percaya kepada takdir Tuhan yang akan selalu indah karena Dia lebih mengetahui dibandingkan hambaNya. Berikut ini adalah salah satu nasehat Guruta yang juga sangat indah...
“Percayalah, jika itu cinta sejati kau, maka ia akan kembali entah karena kebetulan, takdir atau apalah. Tapi jika tidak, maka engkau akan menemukan yang lebih baik darinya. Percayalah”

         Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa novel ini sangat baik untuk dibaca, ceritanya menghibur namun tetap sarat pesan moral selain itu banyak pengetahuan yang kita dapat dari novel ini. Pengetahuan sejarah, pengetahuan tentang kapal, bahasa bahkan tentang agama. Salut kepada penulis yang mampu membuat novel seperti ini. Tulisannya terasa hidup dan nyata serta sarat makna.
         Bagi yang ingin mendapat warna berbeda dalam sebuah kisah, novel Rindu ini bisa menjadi referensi.

Selamat membaca !^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar